Archive for February 2015
Men with a shit
Gue punya temen, namanya Udin (bukan
nama sebenarnya). Sebagai temen, Udin adalah sosok yang menyenangkan. Ada saja
ide absurd yang kerap dia utarakan. Oleh karena itu, setiap kami hangout bareng, suasana menjadi lebih
hidup, menyenangkan, dan tetap...sesat.
“Man, besok malem temenin gue kondangan mantan gebetan gue, yuk”.
“Mantan gebetan lo yang mana, nih?”.
“Si Rina, yang kerja di poliklinik
kejiwaan itu, loh”.
“Oke, deh. Eh, tapi gue gak punya duit
bakal pajak di pelaminannya, nih?”.
“Ah, itu mah gampang. Ntar gue yang
bawa”.
Tepat jam 7 malem, gue jemput Udin.
Rumah kami tuh kebetulan searah, jadinya gue kalo mau pergi jalan, pasti
ngelewatin rumahnya. Dan kebetulan juga, dia gak punya kendaraan, gue yang jadi
ojeknya setiap kami pergi bareng (ini termasuk riya’ gak, sih?).
Sebagai mantan gebetan yang gak mau
malu-maluin, Udin merubah penampilannya. Khusus di malam resepsi sang mantan
gebetan, Udin mengenakan kaos kuning bergambar Pikachu, blazer hitam, celana
jeans biru cerah, sepatu belel, dan
syal Arema. Udin yang kesehariannya biasa cuman pake kaos, boxer, dan bawa garukan badan, di malam itu gue melihat perubahan fashionnya, dari parah ke parah banget.
“Gimana, Man? Keren gak?”, Udin meminta
pendapat gue atas usahanya.
“Keren banget, Cok!”, selera fashion
kami ternyata sama.
“Si Rina pasti nyesel udah ninggalin
gue!”, ucapnya mantap.
“Nyesel karena kenapa gak ninggalin lo
dari awal?”, tanya gue.
“Ah, sialan lo. Ayok kita cabut”.
Selama perjalanan kami menuju tempat
resepsi, Udin banyak bercerita tentang hubungannya dengan Rina dulu, yang bisa
gue simpulkan gak happy ending,
melainkan shit ending.
Udin pernah ngajak Rina jalan tepat di
menit ke-5 setelah mereka berkenalan yang langsung ditolak oleh Rina. Ya lagian
cewek mana sih yang langsung mau pergi bareng cowok yang baru dikenalnya dalam
kurun waktu 5 menit? Namun, hal itu gak membuat Udin putus asa.
Tawaran Udin untuk mengajak Rina berbuah
manis di usahanya yang ke-22, namun itu mesti dibatalin karena malam itu hujan
deras. Di usaha ke-37, Udin bisa jalan bareng Rina, malam itu pun gak turun
hujan, mestinya bisa ‘sukses’, tapi setelah baru jalan sekitar 13 menit, Rina
ditelpon kalo kucingnya mati karena keselek duri ikan (nih kucing masih magang
kali, kali ya? Payah amat!). Rina nangis, meraung-raung dan mencakar-cakar apa
yang ada di dekatnya, Udin jadi korban cakaran si Rina. Endingnya, Udin mesti mengantar pulang Rina saat itu juga dengan
luka cakaran di pipi kiri.
Usaha Udin gak sial mulu, kok endingnya. Pernah berhasil juga, loh.
Yaitu tepat di usaha ke-51, Rina setuju buat keluar nonton kuda lumping bareng Udin.
Cuacanya cerah berbintang, dan gak ada kabar duka dari kucing piaraan Rina.
Tanpa menunggu malam-malam yang lain, malam itu pun Udin ingin menjadikan Rina
sebagai pacarnya.
Suara gamelan kuda lumping menjadi backsound prosesi penembakan.
“Rina, aku sudah lama ingin mengatakan
ini. Aku ngerasa udah ngerasa nyaman dengan kamu, dan aku ingin merasakan
kenyamanan ini selamanya. Apakah kamu juga merasakan hal yang sama?”, ucap Udin
dengan suara yang dibuat sedalam mungkin.
“Iya, aku juga merasakan apa yang kamu
rasakan”, Rina menjawab dengan malu-malu.
“Jadi perasaan kita sama nih? Wah aku
senang banget, kalo gitu kamu mau gak jadi pacarku?”, Udin gak bisa
menyembunyikan senyum diwajahnya.
“Tunggg!!!!!!!”,
suara gong berbunyi.
Rina gak langsung menjawab pertanyaan Udin.
Tiba-tiba Rina tersentak kaget, kemudian dia menunduk, dan terdiam.
Perlahan Rina menjauh dari Udin, dalam
langkahnya dia membentuk irama. Tangannya mulai terangkat, melambai-lambai.
Gerakan tubuhnya mengikuti irama musik pengiring kuda lumping, dia menari. Rina
kesurupan. Status penembakan : gagal.
Oleh Bokap-Nyokap si Rina, Udin diminta
untuk gak boleh membawa Rina lagi bersamanya. Karena mereka pikir, Udin itu
bawa sial buat Rina. Karena di setiap saat Rina bersama Udin, selalu saja
berujung pada sebuah ‘kesialan’. Karena hal itulah akan lebih baik jika Rina
gak bersama Udin lagi.
Terakhir Udin dengar kabar, kalo Rina
bakal dinikahin oleh paranormal.
“Eh, lo gak lupa bawa duit, kan?”, gue
mengalihkan topik pembicaraan. Gue cuman gak mau Udin terbebani hatinya.
Kenapa? Ya karena kalo Udin sampe galau di jalan, pasti imbasnya ke gue.
“Bawa, dong. Tenang aja lo”, jawab
sekenanya.
“Berapa?”, gue gak yakin dengan
pertanyaan gue yang ini.
“Seribu”, bilangnya sambil tertawa.
“Lo sarap,
ya? Kok seribu? Mending gak usah pergi, malu-maluin”.
“Cus
aja deh, gue laper nih. Urusan malu ntar aja, kan diamplop juga. Anggap aja
rejeki, gue laper nih”.
Sesampainya di resepsi pernikahan Rina,
kami langsung menuju meja prasmanan untuk mengambil hidangannya.
“Wuih,
prasmanan, Cok! Makan malem mewah!”,
bilang Udin sembari mempercepat langkah kakinya.
Buat Udin, kondangan itu adalah tempat spesial dimana kami bisa makan enak
tanpa harus memasaknya sendiri apalagi membayarnya. Gak cuman di kondangan aja sih, bisa di hajatan mana
pun seperti aqiqah-an, ulang tahun,
sampe hajatan khitan. Ibarat
pribahasa, ‘dimana ada sunatan, di situ ada Udin’.
Kami pun berdiri di antrian panjang tamu
undangan. Udin yang sebelumnya menyebut nama ‘Rina’ terus-menerus di perjalanan
kami menuju resepsi, kini sepertinya sudah bisa menerima keadaan. “Ayam goreng
tepung, ikan asam manis, sop saudara...”, ucapnya dalam kerinduan yang teramat
sangat.
Gue memperhatiin set dekorasi resepsi
yang terkesan manis. Didominasi warna cream
dan ungu muda. Di sepanjang jalan menuju meja prasmanan, dipajang foto-foto prewed kedua mempelai. Pencahayaan lampu
yang dibuat temaram, dekorasi bunga di tiap sudutnya, serta langit yang
bertabur bintang, membuat suasana resepsi terkesan romantis.
“Ah, kampret!”,
umpat Udin tiba-tiba.
“Kenape, lo?”.
“Tuh bapak-bapak lama amat ya, ngambil
nasinya!”.
“Yaelah, Cok. Sabar, nape? Tuh, udah mulai jalan lagi antriannya”, gue
menunjuk ke arah umpatan si Udin. Antrian pun bergerak lagi.
“Gue laper banget”, ucapnya sambil maju
selangkah.
Gue melanjutkan pandangan gue ke
mempelai yang berdiri di seberang pandangan gue. Rina dan suaminya tampil
serasi dalam balutan baju pengantin berwarna ungu. Pikir gue melayang ke
suaminya, “Beneran nih, suaminya Rina tuh paranormal?”, tanya gue dalem hati.
Mungkin saja itu benar, karena tiba-tiba
gue mencium bau busuk yang menyengat. Semakin lama semakin menyengat. Gue yang
pernah magang di salah satu komplek pemakaman yang terakreditasi A, paham
banget dengan ciri kehadiran makhluk ghaib.
Biasanya diawali dengan perubahan suhu yang significant,
berdirinya bulu rambut disekitar tengkuk dan lengan, dan tanda-tanda yang
paling jelas adalah terciumnya bau busuk.
Nampaknya Udin gak peka dengan kondisi
yang gue rasain. Dia terlalu sibuk membayangkan apa yang nantinya akan dia
makan. “Apa ini hanya halusinasi gue aja?”, pikir gue.
Tapi perlahan gue menyadari kalo
ternyata bukan cuman gue saja yang merasakan tanda-tanda ke-3 tersebut.
Bapak-bapak di belakang gue mulai menutup hidungnya, ibu-ibu di belakangnya
lagi menyapu udara tepat di depan wajahnya, sampe anak kecil pun yang berdiri
di samping gue bergumam, “Mah, kok di sini bau ya?”.
“Asem! Siapa nih yang nginjak tokai
kucing?!”, umpat seseorang yang berdiri tepat di depan Udin.
Mendengar umpatan tersebut, gue langsung
nengok kiri-kanan. Mencari-cari siapa yang entah dengan sengaja atau gak telah
membawa zat laknat di dekat meja prasmanan. Aroma tokai kucing bisa gue
klasifikasikan sebagai zat berbahaya jika dihirup dalam jangka waktu yang lama.
Apalagi kalo aromanya melekat di hidangan yang nantinya akan disantap, kebayang
gak lo makan rendang aroma tokai kucing?
Gue memeriksa sepatu gue kalo-kalo udah
membawa barang haram tersebut tanpa sengaja, dan hasilnya sepatu gue bersih.
Tamu-tamu undangan yang lain juga melakukan hal yang sama, dan sama dengan gue,
sepatu atau sandal mereka bersih.
Udin yang dari tadi hanya menerawang
jauh tentang apa yang nantinya akan dimakan rupanya gak menyadari suasana yang
tengah membau. Saat itu juga gue jadi teringat dengan pribahasa ‘hanya yang
kentut lah yang gak bisa membaui kentutnya sendiri’. Sepertinya gue tau siapa
yang udah membawa tokai kucing di sekitar meja prasmanan.
Gue menyeret Udin keluar dan pergi
menjauh dari antrian.
“Woi, kampret! Lo nginjak tokai kucing!”, gue marah.
“Hah?”, Udin langsung memeriksa bagian
bawah sepatunya.
Dan benar, gumpalan racun laknat
menempel indah di sepatu belelnya.
Udin mengangkat kepalanya, menatap gue dan cuman...tersenyum.
Akhirnya kita bisa duduk di kursi
undangan setelah mengantri prasmanan dari awal lagi.
“Kita kehabisan semur daging, nih.”,
keluh Udin.
“Mestinya sempat kebagian kalo lo gak
nginjak zat laknat tadi!”, jawab gue ketus.
“Masih marah, nih?”, guraunya sambil
menyenggol gue.
Yang gue salut dari seorang Udin adalah
gak pernah meninggalkan senyum dalam setiap perkataannya, sekalipun orang yang
berada di depannya adalah orang yang ilfil
dengan tingkah lakunya. Pribadinya yang telah ditempa oleh kondisi,
menjadikannya kuat dan bisa menerima keadaan. Pribadi seperti inilah yang saat
ini udah jarang kita temuin.
“Nih, jatah ayam goreng gue. Lo jangan
marah lagi, ya”, Udin menyendok ayam goreng dari piringnya dan diberikannya ke
piring gue. Kita gak homo, kok. Hal itu wajar dalam persahabatan. Dari hal
kecil tadi, lo bisa menilai mana orang yang bisa lo percaya sebagai sahabat,
dan mana yang gak.
Akhirnya kami tiba di agenda terakhir
dalam rangkaian resepsi, yaitu restu. Pemberian restu yang gue maksud bukan
seperti yang lo liat di film-film bollywood
yang mesti menunduk dan mencium kaki, loh ya. Melainkan hanya berjabat tangan
kepada kedua mempelai. Gue memperhatikan Udin yang berjalan di depan gue. Dia
gelisah.
Sikapnya yang ganjil, dia terlihat
cemas, melihat ke kiri, lalu ke kanan, dan ke kiri lagi. Hanya kami yang
berjalan ke pelaminan untuk menghampiri kedua mempelai. Entah apa yang
dicemaskannya, gue ngeliat wajahnya pucat. Gue takut kalo dia gak bisa menerima
kenyataan kalo mantan gebetannya nikah.
“Lo kenapa, Cok?”, gue berbisik ke dia.
“Kayaknya amplop kita ketinggalan di
celana gue yang satunya, deh”.
“Mampus!”.