Posted by : Unknown Friday, February 21, 2014



Di rumah nenek ada kucing. Betina belang tiga yang gue temuin itu rupanya anak dari kucing yang sebelumnya nyasar kerumah dulu. Nyokapnya udah pergi entah kemana meninggalkan anaknya yang masih perawan dirumah nenek.
Gue berjanji untuk menjadikannya kucing angkat dan merawatnya. Dia selalu duduk didepan jalanan rumah gue sekedar untuk mengucapkan ‘selamat jalan’ ketika gue turun kerja dan ‘selamat datang’ ketika gue pulang kerja.
Dia pinter merayu kalo urusannya dengan makan. Dia akan duduk di depan meja makan, menatap tajam kearah tudung saji, dan meong-meong kepada gue.
‘Sayang, bagi ikan asinnya dong. Gue laper nih, sayang baik deh’.
Dengan kalimat seperti itu, gue luluh dan akhirnya gue kasih ikan asin di piring makannya. Gue campur dengan nasi biar dia kenyang. Dilahapnya dengan nikmat menu irit yang gue sediain. Paling bisa aja nih kucing gue.
Gue gak mau membatasi pergaulannya dengan kucing komplek, karena dia udah cukup besar untuk mengenal kucing lain. Gue harap dia akan bertemu dan jatuh cinta dengan kucing baik dan berasal dari keluarga baik-baik pula. Namun pilihan hatinya jatuh kepada kucing garong abu-abu putih, dan gue gak suka.
‘Lo kok bisa suka dengan kucing garong itu, gue gak suka. Dia bukan kucing baik-baik!’, kata gue galak.
‘Tapi, gue jatuh cinta dengan dia. Dia macho banget’, meongnya dia memohon.
‘Pokoknya gue gak suka, lo harus putusin dia’, gue emosi banget.
Mungkin udah karena cinta atau karena apa, dia tetap pada pilihannya. Dibelakang gue, dia dan kucing garong itu backstreet. Dia pergi dari rumah.
Gue kesepian banget gak ada dia, hampa, dan piring kucingnya kosong begitu saja. Apa gue terlalu keras buat dia? Apa salahnya menghargai pilihan hatinya? Gue merasa bersalah setelah itu.
Gue janji gak akan marah lagi dengan dia, sekarang keberadaan dia dirumah itu segalanya buat gue, gue bakal tunggu dia kembali kerumah.
Sampai akhirnya hari yang gue harapkan itu pun tiba.
Gue dikejutkan oleh meongnya yang terdengar sedih sesampainya dirumah. Wajahnya kucel, sedih, dan air mata yang mengalir begitu saja. ‘Dia jahat dia jahat dia jahat’, tiba-tiba dia menagis hebat didepan gue.
‘Ada apa? Lo kenapa dengan dia?’, tanya gue.
‘Dia jahat, dia selingkuh, gue ditinggalin’, dia menangis lebih hebat lagi.
‘Kan dari awal gue udah suruh lo putusin. Gue tau dia bukan kucing baik-baik’, gue menenangkannya. Gue peluk lah dia.
‘Tapi gue udah hamil, ini anaknya’, tangisnya tambah kenceng.
‘APA?! LO HAMIL? Dan dia tinggalin lo gitu aja? Sini gue datangin, gue matiin sekalian’, gue tiba-tiba marah banget. Emosi gue gak terkontrol. ‘Jangan, gue gak mau dia mati. Gue sayang sama dia, gue cuman sedih’, dia menghalau gue yang bergegas ambil golok.
Yaelah, cing. Gue bingung mesti apa kalo urusannya udah masalah cinta.
Akhirnya gue dan dia sepakat nyembunyikan kabar ini dari nyokap gue, soalnya nyokap gue alergi dengan bayi kucing. Dan dia bakal marah benget ada anak kucing yang gak ada ayahnya.
Lama berselang, akhirnya dia pun melahirkan. Tiga ekor dengan bulu abu-abu tipis mirip ayahnya. Akhirnya nyokap adalah orang yang pertama kali tau ketika pagi itu dia mergoki si kucing dalam posisi nungging, kelelahan pasca melahirkan dengan tiga anak kucing menggeliat-geliat di dekatnya.
Nyokap gue kaget minta ampun, si kucing pun dimarahin. ‘Lo kok bisa beranak disini? Suami lo mana?’, tanya nyokap gue. ‘Dia ditinggalin mah, sekarang dia janda’, jawab gue pelan sementara si kucing nunduk merasa bersalah.
Jauh dari jarak dengar si kucing, nyokap gue bilang, ‘pokoknya mama gak mau ada anak kucing dirumah!’. Gue tau itu adalah final statement dari nyokap, dan gak ada yang berani membantahnya, termasuk gue.
Nyokap gue gak langsung ngusir anak kucing itu kok, masih kecil dan belum tau cara nyebrang yang baik dan benar. Nyokap gue masih ngijinin mereka tinggal dirumah, sampe akhirnya mereka udah cukup mandiri.
Agak susah buat nyokap gue mencari cara agar anak kucing itu pergi dari rumah. Mereka udah terbiasa tumbuh dan bermain di halaman rumah. Nyokap berulang kali meminta gue buang mereka ditempat sampah yang dengan keras kepala gue tolak.
Tanpa sepengetahuan gue dan induk kucing, nyokap nyuruh seorang anak kecil sekitar rumah yang saat itu turun sekolah untuk buang anak kucing tersebut di tempat sampah. Dengan iming-iming lima ribu perak, terjadilah deal antara nyokap dan anak itu.
Anak itu datang dan laporan kepada nyokap, yang kebetulan gue ada situ.
‘Tante, udah kubuang di tong sampah’, bilangnya dia polos.
‘Tong sampah mana?’, tanya nyokap.
‘Yang di depan tante, tapi kucingnya udah naik truk sampah tadi’, sambutnya dengan polos.
‘Hah?! Kok udah naik truk aja tuh kucing? Kalo dia jatoh, gak pegangan gimana?!’, gue kaget. Nyokap gue tertawa karena gelinya, sementara dari kejauhan induk kucing melirik obrolan kami penuh arti, ada apa kah disana, seperti itulah mungkin dalam hatinya.
Ternyata ketika anak-anak tersebut ngebuang kucing, bertepatan dengan datangnya truk sampah. Akhirnya, kotak indomie yang berisi anak kucing itu pun dibawa naik ke truk oleh petugasnya.
Gue gak tau mesti ngomong apa lagi. Gue sepakat dengan nyokap untuk pura-pura gak tau dan menyembunyikan ini dari si kucing. Gue cuman bisa berharap, anak-anak kucing itu sehat dimana pun mereka berada. Memiliki hidup yang jauh lebih baik di perantauan sana, sukses dan tak kurang suatu apapun itu.
Gue kasian dengan si induk kucing yang selalu mondar-mandir di sekitar rumah, mencari jejak keberadaan anak-anaknya. Dia tampak kebingungan, dan sedih dalam pencariannya yang sia-sia.
Yah, dia nantinya bakal terbiasa dengan keadaan ini, batin gue dalem hati. Dia hanya butuh waktu. Meskipun gue tau, itu berat untuk seorang ibu.
Akhirnya setelah lama mogok makan dan larut dalam kesedihan, kemarin dia ngehampiri gue dan bilang, ‘gue hamil lagi, bos’.
‘Kampret lo, cing’, gue ngatain dia. ‘Bapaknya siapa kali ini?’, lanjut gue. ‘Kucing coklat yang biasa nongkrong di pertigaan depan’, jawabnya tanpa rasa sesal sedikitpun.
Gue cuman diam, gak tau harus ngomong apa. Sekali kucing ya tetap kucing, untungnya kita manusia gak gitu dan semoga gak gitu. Sementara gue diem tanpa kata, dia berbalik badan dan melenggang pergi.
Dasar kucing jablay tukang kawin, but wait emang doyan kawin kali ya tuh kucing, kata gue dalem hati. Dan dia pun pergi dengan menggoyang-goyangkan ekornya.

{ 1 comments... read them below or add one }

  1. Hahahaha mank dah fitrahnya gitu mah para Klan Meong hehehe,

    ReplyDelete

Sobat Asik ke

Powered by Blogger.

- Copyright © ACG - asikcarague -Metrominimalist- Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -