- Back to Home »
- Absurd , Aktivitas , Cerpen , Keluarga Heboh , Opini »
- THAT NAME
Posted by : Unknown
Saturday, October 4, 2014
Buat yang belom tau, kenalin nih nama
gue “Roman Gusmana”.
For
your information,
nama gue tuh bukan nama samaran yang sengaja gue buat biar kedengarannya gaul
seperti yang banyak dilakukan abege
alay di Indonesia. Nama gue tuh asli buah pemikiran bokap-nyokap pas lahiran
gue dulu.
Yang sebetulnya, dengan nama tersebut,
gue bingung.
Hal ini bermula ketika gue masuk SMA. Bu
Eni adalah guru BK yang saat itu tengah memberikan petuah-petuah baik kepada
kami, murid-murid baru SMA Negeri 1 Berau. Saat itu kami diabsen satu persatu.
“Aditya Pratama Putra”, serunya kepada
seorang anak berbadan lebih (baca : gendut). “Aditya, ya? Berasal dari bahasa sansekerta yang berarti, pandai dan
bijaksana. Pratama, tentunya kamu anak pertama, kan? Kemudian, Putra. Jelas ya,
karena kamu terlalu jelek kalo dibilang ‘Putri’”.
Respon temen-temen gue, “Wah, hebat
banget. Pasti karena pendidikannya”.
Respon gue, “Gila! Ada dukun! Minta
diramalin, ah”.
Mungkin karena latar belakang
pendidikannya ditambah pengalaman hidupnya, dia jadi bisa menebak atau (mungkin
beneran tau) arti dari nama-nama orang. Satu persatu nama temen-temen gue dia
jelaskan, arti dan maknanya. Sampai dia berhenti di satu nama, nama gue.
“Rohman Gusmana, ya?”
“Roman Gusmana, bu. Gak pake ‘h’”, gue
membetulkan.
“Iya ya ya, Roman, ya? Arti nama kamu
apa, Man?”.
“Gak tau, bu”.
“Udah pernah tanya ayah-ibu, arti nama
kamu apa?”.
“Pernah sih bu, tapi mereka juga gak
tau”, gue nunduk. Mungkin karena gue masih lugu , polos dan pemalu. Ralat.
Malu-maluin.
“Waduh, repot nih. Saya juga baru tau
ada nama ‘Roman’. Saya jadi bingung nih. Kalo ‘Gus’-nya kemungkinan karena kamu
lahir di bulan Agustus, tapi kalo ‘Mana’-nya? Apa gak salah nih namanya?”
Sukses. Hari pertama gue sebagai anak
SMA udah berhasil menyesatkan guru BK. Namun dari peristiwa itu gue menyadari,
kalo ternyata, Bu Eni bukan dukun.
Hirarki-nya penamaan anak oleh orang tua
yang berasaskan adat ketimuran Indonesia adalah “Nama adalah do’a”. Yang
artinya, kalo mau anak lo kaya, lo bisa beri nama “Abdul Ghani”. Atau kalo mau
anak lo kuat, lo bisa kasih nama “Abdul Al Matin”. Dan kalo lo mau anak lo
tampan, hindari menambahkan “Kompos” di dalam deret nama lengkapnya. Mungkin
inilah yang bokap-nyokap gue belum pahami.
Sebelum jumpa membawa bingung dengan Bu
Eni, gue memang sudah pernah tanya dengan bokap-nyokap perihal arti nama gue.
Gue mulai dari nyokap.
“Mah, ‘Roman Gusmana’ tuh artinya apaan,
ya?” gue memulai.
“Apa ya? Mama juga gak tau, nih. Lagian
buat apa sih tanya itu?”.
“Penasaran sih, Mah”.
“Coba tanya papa, kan dia yang buat”.
Sungguh sesat sekali jawaban nyokap. Gue gak mau tau gimana caranya bokap gue
“Buat”, yang penting sekarang, arti nama gue tuh apaan. Gue pun beralih ke
bokap.
“Arti nama ‘Roman Gusmana’, ya? Waduh,
papa juga gak tau. Tapi bagus, kan? Kamu suka dengan namanya, kan?”.
“Bagus sih, pah. Tapi bentar deh, kok
papa ngasih nama itu sih? Kenapa?”.
“Karena apa, ya? Keren aja, sih”.
Gue tau itu jawaban yang gak sepenuhnya
benar. Hasrat dan ego pun membutakan mata gue untuk tau apa arti nama “Roman
Gusmana”, gue pun mendesak bokap untuk ngasih tau yang sebenarnya, “Papa
apa-apaan, sih? Kasih tau, gak? Kalo gak, aku minum karbol, nih!”.
“JANGAAAAANNN!!!!!! Iya iya iya, deh.
Papa kasih tau yang sebenarnya, tapi kamu jangan shock, ya”.
Hening sejenak.
Bokap menghela nafas dalam-dalam,
kemudian dalam tatapan yang dalam pula, di bilang “Saat itu papa dapet bisikan ghoib”.
Hening lagi.
Dari sketsa obrolan diatas yang sedikit ngaco, gue menyadari kalo gak ada do’a
khusus yang bokap-nyokap harapkan dari lahiran gue. Gue sedih meski di sisi
lain, gue bangga punya nama yang menurut gue, keren.
Sebuah “Nama” saat ini selain hanya
sekedar identitas, juga berfungsi sebagai “Aset”. Lo bisa telaah dari nama-nama
selebritis yang kerap menghiasi televisi Indonesia, gue ambil contoh, Iyan
Kasela.
Buat lo yang mendengar dengan nama “Iyan
Kasela”, apa yang terlintas di benak lo? Kacamata item? Dadadam dadadam? Vokalis Radja Band? Yup, bener semua. Nah, menurut lo, siapa nama aslinya? Lo pasti
mengira kalo nama aslinya tuh gak jauh dari nama panggungnya, kan? Sini gue
kasih tau, nama aslinya “Samijan”. Gila! Jauh banget!
What
the hell?
Yes, itulah nama aslinya. Pasti lo dadadam dadadam gak nyangka, kan?
Bukan cuman Iyan Kasela doang yang
mengganti namanya demi sebuah kepopuleran. Inul Daratista, Dewi Persik, Wulan
Guritno, Mulan Jameela, bahkan Dena Rachman. Lo pada tau Dena Rachman, kan?
Yang dulunya cowok itu, lho. Dulu
namanya “Renaldy Rachman”, lo tau kan? Apa? Gak tau? Ah, sudahlah!
Nah, fenomena gonta-ganti nama dalam
dunia hiburan tentu bukan hal yang baru. Dari jaman Hitler masih jadi anak fixie hingga sekarang, hal ini pun
dianggap lumrah. Itu semua demi sebuah “Keeksistensian”. Hal inilah yang
sepertinya menjadi “Trend” di kalangan abege
saat ini.
Masa-masa abege memang menjadi masa-masa yang paling indah. Masa dimana
“Nakal” bisa dimaklumin dengan kalimat, “Namanya juga anak muda, wajarlah kalo
nakal. Kan masih mencari jati diri”. Enak kan jadi abege?
Yang gue liat dari kondisi abege, mereka nakal karena mereka butuh
perhatian. Dan salah satu cara mereka mencari perhatian, adalah mengganti nama
mereka dengan nama unik agar terdengar lebih eksis dan menarik perhatian tentunya, yang sebenarnya menurut gue, kasian banget.
Lo akrab dengan social media, kan? Apa? Lo gak tau? Kalo Twitter, Facebook, atau Path, lo pasti tau kan? Nah, itulah social media. Contoh social media, tepatnya. Banyak-banyak
wawasan, ya nak. Nah, di media inilah
biasanya abege mengekspresikan dirinya. Dari mengupdate status yang gak penting, share
foto-foto alay, dan yang paling utama
ganti nickname.
Dari analisa gue (yang kayaknya bener),
tujuan utama mengganti nickname
adalah biar kontras, nampak, dan menjadi perhatian buat yang liat. Kenapa gue
tau? Ya, sedikit pengalaman gue di Friendster.
Iya, Friendster. Jadul banget, ya? Nickname gue waktu itu, “Oman
d’Pretelz”. Entah kenapa sekarang gue jijik kalo ingat nickname Friendster gue dulu. Omaygat,
gue pernah alay!
Mungkin karena pengalaman pribadi, gue
jadi memaklumin meng-alay-kan nama
adalah hal yang gak bisa lepas dari kehidupan abege saat ini. Kebutuhan akan “Perhatian” adalah motor utama yang
menggerakkan intuisi alamiah abege.
Dengan mengabaikan penilaian orang, terus berjalan melewati deret skema usia
menuju pendewasaan, tsah!
Berbicara tentang “Nama”, William
Shakespeare pernah bilang, “Apalah arti sebuah nama”. Menurut gue, ya mungkin
William Shakespeare mesti mengulang masa-masa play group-nya. Gue tegasin nih ye,
“Nama itu penting”. Kenapa penting? Nih alasan gue :
1.
Nama
itu kado pertama dari bokap-nyokap
Seperti yang gue
bilang di atas, “Nama adalah do’a”, dan yang memberikan kita nama adalah
bokap-nyokap kita sendiri. Meski di beberapa kondisi, ada juga yang memberi
kita nama bukan mereka.
Nah, dibalik
segala nama yang mereka pikirkan, tentu banyak pertimbangan akan harapan yang
diharapkan kepada si bayi ke depannya. Menurut gue, harapan itulah rangkuman
do’a mereka kepada kita semua. Itulah kado pertama yang kita dapatkan dari
mereka, nama.
Sebagai anak,
kita tentu punya cita-cita untuk memenuhi harapan orang tua, kan? Terlebih kalo
lo tau makna nama lo sendiri, bisa jadi motivasi untuk memenuhi harapan mereka.
Gue kasih tau, semua harapan orang tua ke anaknya, pasti baik.
Buat lo yang gak
tau arti nama lo sendiri, seperti gue. Bisa jadi orang tua mengharapkan hal
yang baik untuk segala aspek. Memotivasi kita untuk lebih giat, tekun, dan
bekerja keras.
2.
Identitas
formal
Kita gak hidup sendiri
dalam goa yang gelap, gak juga hidup hanya dalam naungan rumah, melainkan kita
saling terkoneksi satu sama lain. Itulah yang menjadikan nama itu penting
sebagai identitas dalam rutinitas kita.
Coba deh lo
bayangin kalo lo lagi nongkrong bareng temen-temen lo. Dan kalian yang ada
dalam tongkrongan tuh gak punya nama masing-masing.
“Eh, si Anu
mana, ya? Kok gak ikutan nongkrong?”, tanya Anu kepada Anu.
“Si Anu ya?
Bilangnya sih lagi main bareng si Anu”, si Anu menjawab.
“Si Anu ikutan
bareng Anu main sama Anu, kah? Kok gak datang juga? Gue ada perlu nih sama si
Anu”, si Anu yang lain ikutan nimbrung.
Repot.
3.
Lo
pasti gak mau kan dipanggil “Njing” atau “Nyet”.
Jelas!
Pentingnya sebuah nama sedikit menyita
perhatian gue. Entah kenapa, gue udah mulai memikirkan nama untuk anak gue
kelak. Mengingat hirarki, nama adalah do’a yang berisikan harapan orang tua
kepada anaknya, gue menarik kesimpulan kalo dalam deret nama lengkapnya kelak,
gue bakal menghindari menamakannya dengan “Kompos”.